Rencana PT Pertamina (Persero) menjual pertalite tidak mendapat respons positif anggota tim Reformasi Tata Kelola Migas (RTKM). Sebab, ada potensi mengulangi tidak transparannya pengadaan bahan bakar dengan nilai oktan 90 atau 91 itu.
Anggota tim RTKM Fahmy Radhi mencium gelagat tersebut. Menurut dia, nilai oktan terendah yang umum diperdagangkan di dunia adalah oktan 92. Kalau Pertamina berencana mengeluarkan bensin dengan research octane number (RON) di bawah itu, artinya perlu ada pencampuran.
”Lantas apa bedanya dengan premium? Permainan mafia migas bisa terulang,” ujarnya. Karena itu, tim RTKM berencana membahas pertalite pada rapat pekan depan. Kalau perlu, tim yang dipimpin Faisal Basri tersebut ingin bertemu langsung dengan Pertamina.
Pertemuan itu dirasa perlu karena banyak pertanyaan yang ingin disampaikan kepada BUMN energi tersebut. Misalnya, apakah bensin itu diproduksi di kilang Indonesia atau tidak? Blending di dalam atau luar negeri juga berpengaruh. Sebab, ada beda yang cukup besar dalam penentuan harga.
”Kalau di-blending di kilang Indonesia, mungkin masih bisa ditoleransi,” tuturnya. Secara pribadi, Fahmy menilai keputusan Pertamina cukup tanggung. Padahal, tim RTKM berharap bensin di Indonesia minimal RON 92. Meski sama-sama impor, sebut dia, proses pengadaannya lebih mudah dipantau.
Sampai saat ini tim RTKM masih bersikukuh bahwa rekomendasi penghilangan RON 88 atau premium bersifat final. Apalagi, pemerintah sudah merestui rekomendasi itu dengan memberikan waktu dua tahun bagi Pertamina untuk melenyapkan premium. ”Kalau tidak ada transparansi, tim konsisten memaksa pemerintah dan Pertamina melaksanakan rekomendasi,” tegasnya.
Meski siap mengkritisi Pertamina, Fahmy menyadari bahwa posisi tim tidak terlalu kuat untuk mengubah kebijakan perusahaan yang dipimpin Dwi Soetjipto tersebut. Sebab, pertalite merupakan kegiatan korporasi. Tidak seperti premium yang masih ada campur tangan pemerintah.
Sofyano menambahkan, masyarakat sudah membeli premium dengan harga yang telah tidak ada muatan subsidi dari pemerintah. Sofyano selama ini memang dikenal sebagai pribadi yang tidak sepakat dengan penghapusan RON 88. ”Premium, pertalite, atau pertamax tetap mengandalkan impor dari luar negeri,” tegasnya.
Jadi, keberadaan pertalite juga membuka peluang bagi pengusaha hitam untuk bermain dalam pasokan bbm. Dia pesimistis hadirnya pertalite bisa membuat pengguna premium berpaling. Apalagi, harga yang dipatok untuk BBM jenis baru itu tetap lebih mahal daripada premium. ”Harga premium tetap saja lebih murah daripada pertalite walau dipasok siapa pun,” tuturnya.
Sofyano berharap pemerintah maupun Pertamina tidak mengaitkan keberadaan pertalite dengan penghilangan premium. Kalau pemerintah merestui pertalite, ia hanya sebatas barang dagangan Pertamina layaknya pertamax dan tidak menghapus premium.
Vice President Corporate Communication Pertamina Wianda Pusponegoro menegaskan bahwa untuk saat ini pertalite tidak menggantikan premium. Dia juga mengatakan, pertalite murni produk badan usaha. Jadi, tidak ada paksaan bagi masyarakat untuk membeli inovasi Pertamina tersebut. ”Ini murni produk komersial Pertamina,” ucapnya.
Wianda juga menjelaskan, sampai saat ini belum ada instruksi resmi dari pemerintah untuk mulai menghilangkan premium. Hubungan Pertamina dengan pemerintah baru-baru ini soal BBM hanya membahas izin pertalite. Pertamina membutuhkan pengakuan resmi terkait spesifikasi BBM jenis baru itu. ”Enggak ada target untuk menghapus RON 88. Produk ini lebih ke arah memberikan banyak pilihan kepada masyarakat,” tuturnya.
Seperti diberitakan, Menteri ESDM Sudirman Said mendukung produk baru Pertamina tersebut. Dia juga tahu ada beberapa suara sumbang yang meragukan pasokan minyak nanti. Seperti merujuk pada satu perusahaan tertentu. Namun, dia sudah mendapat laporan dari Pertamina bahwa tidak ada nada kongkalikong.
Post a Comment