PENGANTAR REDAKSI: Guru Besar (Em) Hukum Pidana Internasional Universitas Padjadjaran, Bandung, Prof Dr Romli Atmasastima, LLM., menulis jawaban atas hasil putusan pengadilan dagelan yang diselenggarakan di Den Haag dan dihadiri sejumlah sosok liberal Indonesia seperti Nursyahbani Katjasungkana, Todung Mulya Lubis dkk. Seperti diketahui pengadilan IPT itu menyatakan bahwa peristiwa G30S PKI telah mengakibatkan enam jenis pelanggaran HAM. Beberapa di antaranya adalah genosida dan kejahatan kemanusiaan.
Menurut Prof Romli, peristiwa
pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) atau yang dikenal dengan G
30 S/PKI itu bukanlah soal pelanggaran HAM melainkan perbuatan makar.
Berikut artikel utuh mantan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum
Departemen Kehakiman dan HAM RI seperti dimuat dalam rubrik OPINI Koran
Sindo edisi Selasa, 26 Juli 2016:
Peristiwa G30S PKI Bukan Pelanggaran HAM Berat, tapi Makar
Romli Atmasasmita
Guru Besar (Em) Hukum Pidana Internasional Unpad
BERITA Koran Kompas dan Tempo, tanggal
21 Juni 2016, merujuk hasil "peradilan HAM untuk Peristiwa G30S PKI"
yang diselenggarakan di Den Haag dihadiri oleh Nursyahbani, Todung Mulya
Lubis dkk, dan menyatakan bahwa peristiwa G30S PKI telah mengakibatkan
enam jenis pelanggaran HAM. Beberapa di antaranya adalah genosida dan
kejahatan kemanusiaan.
Prinsip kedaulatan negara diakui secara
universal termasuk di dalam Mukadimah Perserikatan Bangsa-Bangsa (1946),
Universal Declaration of Human Rights (1948), dan ketentuan konvensi
terkait perlindungan HAM kecuali Statuta Roma (ICC) tahun 1998.
Pernyataan hakim Peradilan Semu (Moot Court) tentang peristiwa
G30S PKI di Belanda adalah keliru dan menyesatkan karena telah
menempatkan peristiwa pemberontakan PKI tahun 1965 dari perspektif
ketentuan internasional HAM.
Padahal, ketentuan pemuliaan dan
perlindungan HAM di Indonesia baru diberlakukan pada tahun 1999 dengan
UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan larangan pelanggaran HAM
menjadi tindak pidana sejak diberlakukan UU RI Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM dan pembentukan Komnas HAM pasca tahun 1999.
Intinya tidak tepat memasukkan peristiwa
makar G30S PKI dan segala akibatnya sebagai pelanggaran HAM Berat.
Bahkan, Konstitusi UUD 1945 memasukkan ketentuan mengenai perlindungan
HAM (BAB XA SD J) pada perubahan Kedua sekitar tahun 1999-2002.
Peristiwa G30S PKI jelas perbuatan MAKAR dengan maksud menggulingkan
pemerintah yang sah (Pasal 107 KUHP).
Terkait kenyataan ini maka pandangan para
ahli hukum dalam Peradilan Semu tersebut di Belanda tersebut melupakan
atau bahkan mengabaikan eksistensi ketentuan mengenai asas legalitas
yang telah diakui secara universal, termasuk dalam sistem hukum pidana
Belanda. Asas ini melarang pemberlakuan retroaktif (non-retroaktif), dan
tidak mengakui kebiasaan atau hukum tidak tertulis termasuk kebiasaan
dalam konteks hukum internasional.
Pada tempus delicti makar PKI
tahun 1965 yang diberlakukan adalah hukum positif yang sah,
yaitu ketentuan tentang makar yang diatur dalam Buku Kedua Bab I KUHP
tentang Kejahatan terhadap Keamanan Negara dan Pnps No 11 tahun 1963
tentang Subversi yang juga masih berlaku secara sah di dalam wilayah
NKRI ketika itu. Proses peradilan terhadap mereka yang melakukan,
turut melakukan dan pembantuan dalam makar tersebut telah diadili dan
dijatuhi hukuman serta eksekusi telah selesai dilaksanakan berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Banyak mereka yang terlibat dalam makar
telah meninggal dunia sehingga dalam konteks hukum pidana, jikapun ada
pendapat bahwa ada orang yang dipersalahkan, tentunya dari hukum pidana
termasuk hal-hal yang menghapuskan penuntutan (Pasal 77 KUHP).
***
Turut campurnya pemerintah Belanda secara
tidak langsung melalui moot court tentang peristiwa G30S PKI telah
melanggar ketentuan Pasal 2 para 7 Piagam PBB (1945) yang menyatakan:
"Nothing contained in the present Charter shall authorize the United
Nations to intervene in matter which ara essentially within the domestic
jurisdiction of any State ...". Aksi itu juga merupakan pelanggaran
atas Pasal 2 para 4: "ll Member shall refrain in their international
relation from the threat or use of force against the territorial
integerity or political independence of any State, or in any other
manner inconsistet with the Purpose of the United Nations".
Sepatutnya "warga negara Indonesia" yang ikut di Belanda
menyelenggarakan peradilan semu tersebut juga menuntut hak korban
peristiwa Sulawesi Selatan oleh Westerling.
Perlu dipahami oleh seluruh generasi muda
bangsa Indonesia bahwa, situasi tempus delicti makar tahun 1965 telah
dipersiapkan jauh sebelumnya oleh PKI dengan memanfaatkan kedekatan
dengan Presiden Soekarno ketika itu. Sehingga terjadinya makar dengan
segala akibatnya merupakan konsekuensi logis baik secara hukum, sosial,
politik, dan ekonomi.
Agar diketahui bahwa PKI adalah termasuk
recidivist dalam sejarah perjuangan RI. Langkah pemerintah menumpas
gerakan makar oleh PKI sudah benar menurut sistem hukum yang berlaku di
Indonesia dan dibenarkan berdasarkan ketentuan Pasal 4 ICCPR yang telah
diratifikasi dengan UU RI Nomor 12 Tahun 2005-jika mau dihubungkan
dengan HAM, yang menyatakan: "In time of public emergency which
threaten the life of the nation and the existence of which is officially
proclaimed, the State Parties to the present Convention may take such
measures derogating from their obligations under the Convenant to the
extent strictly required by the exigencies of the situation, provided
that such measures are not inconsistent with their obligation under
international law and do not involve discrimination solely of race,
color, sex, language, religion or social origin".
Jelas ketentuan ICCPR memberikan mandat
kepada negara dalam situasi darurat dan ancaman terhadap eksistensi
negara untuk tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dihalalkan oleh
ketentuan konvensi tersebut. Jelas pula bahwa pemuliaan dan
perlindungan atas hak asasi manusia tidak bersifat absolut; dan
ketentuan ini pula yang kemudian telah diakomodasi di dalam Pasal 28J
UUD 1945.
Begitu pula ketentuan Pasal 4 ICCPR telah diadopsi ke dalam Pasal 15 Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (European Convention on Human Rights) mengenai ketentuan tentang "public emergency" yang merupakan pencegahan terhadap pelanggaran prinsip ancaman (principle of threats ) dengan empat karakteristik:
(a) it must be actual or imminent ; (b) its effects must involve the
whole nation, (c) the continuance of the organized life of the community
must be threatened, dan (d) the crisis or danger must be exceptional,
in that the normal measures or restrictions, permitted by the
Conventionfor the maintenance of public safety, health and order, are
plainly inadequate".
Dasar hukum Pnps Nomor 11 Tahun 1963
tentang Subversi dan ketentuan Makar dalam KUHP untuk mengatasi
peristiwa makar PKI ketika itu, serta pernyataan keadaan darurat melalui
Surat Perintah 11 Maret tahun 1966 telah sejalan dengan konvensi
internasional tersebut. Dengan itu membuktikan bahwa langkah pemerintah
Soekarno adalah sah yang kemudian dilaksanakan oleh Jenderal Soeharto
merupakan langkah yang dibenarkan dan sah, baik dari sudut hukum
nasional maupun hukum internasional.
Peradilan semu oleh segelintir orang
asing tersebut di Belanda menunjukkan bahwa mereka tidak memahami secara
benar ketentuan hukum Indonesia dan hukum internasional tentang HAM dan
tentang Konvensi Jenewa Tahun 1949. Jadi, mereka benar-benar "orang
asing" dari sudut kebangsaan maupun dari sudut hukum Indonesia.
Peradilan semu di Belanda tersebut
merupakan cara untuk memperoleh perhatian masyarakat internasional
terhadap masalah dalam negeri Indonesia tahun 1965. Jikapun benar
memerlukan perhatian masyarakat internasional tentu sudah sejak lama DK
PBB Mengeluarkan Resolusi dan mengusulkan pembentukan Komisi Ahli untuk
melakukan penyelidikan terhadap peristiwa makar oleh PKI dan
korban-korban akibat peristiwa tersebut. Sampai saat tulisan ini dibuat
dan sepengetahuan penulis tidak ada tanda-tanda ke arah hal tersebut,
kecuali pada peristiwa dugaan pelanggaran HAM di Timor Timur.
Tidak ada ketentuan hukum internasional
tentang pemaafan terhadap "korban" langkah pemerintah menumpas
pemberontakan terhadap pemerintah yang sah. Begitu pula terhadap korban
perang sesuai dengan Konvensi Jenewa Tahun 1949, kecuali kewajiban
melindungi masyarakat sipil dan tentara yang luka atau sakit dalam
peperangan.
Sepengetahuan penulis, tidak ada
informasi bahwa bangsa Jepang meminta pemerintah AS meminta maaf atas
korban jutaan jiwa penduduk Jepang; tidak ada juga permintaan maaf
korban PD I dan PD II terhadap negara pemenang perang tersebut; juga
tidak ada pemaafan dari pemerintah Belanda kepada jutaan jiwa rakyat
Indonesia yang meninggal dunia karena kekerasan dan kekejaman pemerintah
kolonial Belanda (peristiwa pembunuhan massal di Sulsel oleh
Westerling).
Patut diingatkan kepada mereka yang pro
terhadap makar PKI dan bersimpati terhadap ajaran/paham
komunisme-marxisme-leninisme tentang ancaman pidana di dalam KUHP Pasal
107 a-f, larangan ajaran/paham Komunisme-Marxisme-Leninisme dan ancaman
pidananya. Dan beruntunglah mereka yang terlibat dalam penyelenggaraan
peradilan semu di Belanda dan setelahnya, tidak ada langkah hukum
pemerintahan Joko Widodo terhadap pelanggaran pasal-pasal tersebut.
Ketentuan pasal-pasal tersebut
diberlakukan dengan UU RI Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan KUHP
terkait Kejahatan terhadap Keamanan Negara. antara lain dengan
pertimbangan huruf c. "Bahwa paham dan ajaran
komunisme/marxisme-leninisme dalam praktik kehidupan politik dan
kenegaraan menjelmakan diri dalam kegiatan-kegiatan yang bertentangan
dengan asas-asas dan sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia yang
bertuhan dan beragama serta telah terbukti membahayakan kelangsungan
hidup bangsa Indonesia".
sumber: sindonews.com
Post a Comment