DALAM kitab suci Al-Quran Surah At-Taubah ayat 70, Allah SWT
berfirman, “Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang
orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, ‘Aad, Tsamud, kaum
Ibrahim, penduduk Madyan, dan (penduduk) negeri-negeri yang telah
musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan
yang nyata, maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan
tetapi mereka lah yang menganiaya diri mereka sendiri”.
Berpijak pada Surat At-Taubah tersebut, sesungguhnya Allah SWT telah
memfirmankan bahwa sebelum dan sesudah pemusnahan kaum Nabi Luth,
sesungguhnya sudah banyak azabAllah SWT dijatuhkan terhadap sebuah kaum
yang telah melakukan pelanggaran ketetapan Allah. Misalnya, terhadap
kaum Nabi Nuh, ‘Aad, Tsamud, kaum Nabi Ibrahim, penduduk Madyan, dan
penduduk negeri-negeri lainnya sebelum Allah menurunkan azab bagi kaum
Nabi Luth.
Penyebab kehancuran kaum dan negeri-negeri itu semuanya sama.
Mayoritas kaum tersebut melanggar dan mengingkari pesan atau
ajaran-ajaran suci, yang dibawah dan diajarkan pada para utusan Allah,
nabi-nabi dan Rasul. Mereka tidak hanya mengabaikan pesan suci itu, tapi
juga berusaha melakukan perbuatan keji terhadap para pembawa pesan dan
para pengikutnya. Para pembawa pesan suci tersebut biasanya dituduh dan
difitnah sebagai “pembohong, tukang sihir, atau orang sakit gila” yang
harus diusir dari negeri tempatnya berdakwah.
Semua hal yang diinginkan para nabi pada kaumnya, hanyalah sebuah
kepatuhan kepada Allah sebagai pencipta alam dan mahluknya. Para utusan
Allah itu tidak meminta uang ataupun berbagai keuntungan dunia lainnya
sebagai balasan. Mereka juga tidak berusaha memaksakan ajaran sucinya
terhadap para kaumnya. Yang mereka inginkan hayalah mengajak kaum mereka
kepada agama yang haq, dan bahwa mereka seharusnya memulai sebuah jalan
hidup yang berbeda bersama dengan para pengikutnya terpisah dari
masyarkat.
Kisah penghancuran sebuah kaum oleh azab Allah SWT dalam Al-Quran
yang sangat mengerikan dialami kaum Nabi Syuaib As di negeri Madyan.
Azab dijatuhkan sebagai akibat dari sikap tidak jujur masyarakat Madyan
dalam berniaga. Itu tercermin dari isi QS. Hud : 84 yang berbunyi, “Dan
kepada (penduduk) Madyan (Kami utus) saudara mereka Syu’aib, Ia berkata:
“Hai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan selain Dia. Dan
jaganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat
kamu dalam keadaan yang baik (mampu) dan sesungguhnya aku khawatir
terhadapmu akan azab yang membinasakan (kiamat)”.
Namun, penduduk Madyan beranggapan, mengurangi timbangan adalah salah
satu bentuk kelihaian dan kepandaian dalam jual-beli. Juga, bentuk
kecerdikan dalam mengambil dan membeli. Karena itu, Nabi Syuaib
mengingatkan, bahwa hal tersebut merupakan hal yang hina dan termasuk
pencurian. Perilaku itu jika diteruskan niscaya akan mendatangkan azab
yang tidak akan dapat dihindari oleh sebuah kaum, sebagaimana isi QS.
Hud :85 yang berbunyi, “Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan
dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak
mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat
kerusakan”.
Ironisnya, semua petunjuk Nabi Syuaib itu ditentang oleh kaumnya,
bahkan berbalik menjadi menyerang. Sehingga Allah SWT mewahyukan kepada
beliau agar keluar bersama orang-orang mukmin dari negeri Madyan. Saat
perintah itu dilaksanakan Nabi Syuaib bersama para pengikutnya, maka
datanglah azab Allah SWT sebagaimana tercermin dalam QS. Hud : 94-95
yang bunyinya, “Dan tatkala datang azab Kami (Allah). Kami selamatkan
Syuaib dan orang-orang yang beriman bersama-sama dengan dia dengan
rahmat dari Kami, dan orang-orang lalim dibinasakan oleh satu suara yang
mengguntur, lalu jadilah mereka mati bergelimpangan di rumahnya.
Seolah-olah mereka belum pernah berdiam di tempat itu. Ingatlah,
kebinasaan bagi penduduk Madyan sebagaimana kaum Tsamud telah binasa”.
NEGERI KAUM NUH
Nasib sama dialami kaum Nabi Nuh As. Azab yang datang berupa banjir
sangat dahsyat. Banjir Nuh adalah salah satu dari sekian banyak contoh
kisah-kisah kaum pendosa yang paling banyak diuraikan dalam Al-Qur’an
dan Injil. Tidak hanya kaumnya yang menjadi kurban, tapi istri dan dua
anak nabi juga tertima azab. Ditenggelamkan dalam banjir dengan proses
kematian yang sangat menderita.
Nabi Nuh diutus untuk mengingatkan umatnya yang telah meninggalkan
ayat-ayat Allah dan menyekutukanNya, dan menegaskan kepada mereka untuk
hanya menyembah Allah saja dan berhenti dari sikap pembangkangan.
Ironisnya nasehat dan ajaran yang diberikan nabi yang mendapat gelar
Nabi Allah atau Abdussyakur yang artinya “hamba (Allah) yang banyak
bersyukur” itu selalu saja ditentang dan ditolak kaumnya, dengan tetap
melakukan kemusrikan.
Pahitnya azab bagi kaum Nabi Nuh, dilukiskan dengan jelas dalam QS.
Al-Mukminun : 23-26 yang bunyinya, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus
Nuh kepada kaumnya. Lalu ia berkata “Hai kaumku, sembahlah oleh kamu
Allah, (karena) sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain Dia. Maka
mengapa kamu tidak bertakwa (kepadaNya)?”. Maka pemuka-pemuka orang yang
kafir di antara kaumnya menjawab: “Orang ini tidak lain hanyalah
manusia seperti kamu, yang bermaksud hendak menjadi seorang yang lebih
tinggi dari kamu. Dan kalau Allah menghendaki, tentu Dia mengutus
beberapa orang malaikat. Belum pernah kami mendengar seruan (seruan yang
seperti) ini pada masa nenek moyang kami yang dahulu. Ia tidak lain
hanyalah seorang laki-laki yang berpenyakit gila, maka tunggulah
(sabarlah) terhadapnya sampai suatu waktu. Nuh berdoa, “Ya Tuhanku,
tolonglah aku karena mereka mendustakanku”.
Studi arkeologis, geologis, dan studi historis menunjukkan, bahwa
insiden tersebut terjadi dengan cara yang sangat mirip dan berhubungan
dengan informasi dalam Al-Quran dan Injil Kitab Perjanjian Lama. Banjir
tersebut digambarkan hampir mirip di dalam beberapa rekaman atas
peradaban-pertadaban masa lalu di dalam banyak dokumen sejarah, meski
ciri-ciri dan nama-nama tempat bervariasi. Misalnya, dalam rekaman
sejarah Sumeria dan Assiria-Babilonia, legenda-legenda Yunani,
Shatapatha, Brahmana serta epik-epik dalam Mahabarata dari India,
beberapa legenda dari Welsh di British Isles, legenda Nordic Edda,
leganda Lituania, dan bahkan dalam cerita rakyat dari Negeri Cina.
Azab Allah SWT berupa banjir tak hanya dialami kaum Nabi Nuh, tapi
juga dirasakan kaum Nabi Sulaiman As. Kaum yang mengalami azab itu
adalah kaum Saba’, yang diperkirakan hidup sekitar 1000-750 SM dan
hancur sekitar 550 M, setelah melalui penyerangan selama dua abad dari
Persia dan Arab. Masa keberadaan dari peradaban Saba menjadi pokok
pembiacaran dari banyak diskusi. Kaum Saba mulai mencatat kegiatan
pemerintahannya sekitar 600 SM.
Ibukota dari Saba adalah Ma’rib yang sangat makmur, berkat letak
geografisnya yang sangat menguntungkan. Ibukota ini sangat dekat dengan
Sungai Adhanah. Titik dimana sungai bertemu Jabal Balaq sangatlah tepat
untuk membangun sebuah bendungan. Dengan memanfaatkan keadaan alam ini,
kaum Saba membangun sebuah bendungan di tempat dimana peradaban mereka
pertama kali berdiri, dan sistem pengairan merekapun dimulai. Mereka
benar-benarr mencapai tingkat kemakmuran yang sangat tingi. Penulis
Yunani bernama Pliny yang telah mengunjungi daerah ini sangat memujinya.
Dia menyebutkan betapa menghijaunya kawasan ini.
Kaum Saba merupakan satu diantara empat peradaban besar yang hidup di
Arabia Selatan. Al Qur’an menceritakan, bahwa Ratu Saba dan kaumnya
menyembah matahari selain menyembah Allah, sebelum menjadi pengikuti
Nabi Sulaiman As. Di dalam Al-Qur’an, hukuman yang dikirimkan pada kaum
Saba dinamakan Sail al-Arim, yang berarti “banjir Arim”. Ungkapan yang
digunakan dalam Al-Qur’an juga menceritakan kepada kita bagaimana
bencana ini terjadi. Kata “Arim” berarti bendungan atau rintangan.
Ungkapan Sail al-Arim, menggambarkan sebuah banjir yang datang bersamaan
dengan runtuhnya bendungan.
Setelah bencana banjir Arim, daerah tersebut mulai berubah menjadi
padang pasir dan kaum Saba kehilangan sumber pendapaan mereka yang
paling penting dari musnahnya lahan pertanian. Kaum yang tidak
mengindahkan seruan Allah untuk beriman kepada-Nya dan bersyukur
kepada-Nya, akhirnya diazab dengan sebuah bencana. Setelah penghancuran
tersebut, kaum Saba mulai terpecah-belah. Banyak yang meninggalkan
rumah-rumah mereka dan berpindah ke Arabia Selatan, Makkah dan Syria.
Dikarenakan banjir ini terjadi setelah Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru, maka peristiwa banjir Arim hanya disebutkan dalam Al Qur’an.
Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasan Allah) di tempat
kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan kiri
sebagaimana tersurat dalam QS Saba’ 15-17 yang bunyinya: “Makanlah
olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu
kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah
Tuhan Yang Maha Pengampun”. Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan
kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun-kebun mereka
dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon
Atsl dan sedikit dari pohon Sidr. Demikianlah Kami memberi balasan
kepada mereka karena kekafiran mereka. Dan kami tidak menjatuhkan azab
(yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat
kafir”.
BERSAMBUNG
Sumber: https://primavardhana.wordpress.com/2015/01/30/negeri-negeri-yang-dihancurkan-allah/
Post a Comment